Dan lalu…
Kamu tetap
pada tegar pendirian mu. Memilih melangkah menjauh. Pergi.
Menyisakan
saya yang hanya bisa terperangah dengan sembab mata, diam sejuta bahasa,
mendengar derap tiap langkah mu yang perlahan menghilang di balik sebuah pintu
kayu. Lenyap bersama deru kendaraan yang tak bisa saya tebak ke mana arah
tujunya.
Sesak dan
penuh. Berbagai tanya memberangus seisi kepala.
Mengapa dan
kenapa?
Kini hening
tak hanya membanjiri suasana, pun hati saya yang kalut bercampur beratnya rindu
yang tiba-tiba merangsek tak lagi kenal waktu. Kalau saja derai air mata ini
tak deras mengalir, maka saya akan lebih memilih untuk terbahak. Menertawai
kamu dan saya. Yang sebelum hari ini, masih menjadi dan mendendangkan tentang
sebuah kita. Ya, bukankah kita seperti lelucon yang mengundang gelak dan buncah
‘hahaha’? Persetan dengan semuanya! Kita sudah berusaha dengan keras mencoba
mempertahankan sesuatu yang bahkan tidak pernah ada. Tidak pernah ada. Dan kamu
yang baru saja berjalan pergi, memilih mengakhiri sesuatu yang bahkan belum
pernah benar-benar kita mulai bersama. Ini menjadi semakin rumit dan gila.
Kenapa kamu
terlalu terburu-buru begitu?
Kamu bisa
saja memberikan saya pelukan untuk terakhir kalinya. Bukan hanya tatapan nanar
yang membuat saya mati tenggelam di dalamnya.
Kenapa kamu
menjadi begitu kelu dan beku?
Kamu bisa
saja memagut bibir saya dengan nafas lembut yang perlahan menderu. Dipenuhi hawa
nafsu. Persis, seperti dulu. Kamu bisa
saja menggenggam jemari saya. Seperti yang dulu sering kamu lakukan.
Saat dia
tidak ada.