Tuesday, March 1, 2016

Saat Dia Tidak Ada

Dan lalu…

Kamu tetap pada tegar pendirian mu. Memilih melangkah menjauh. Pergi.

Menyisakan saya yang hanya bisa terperangah dengan sembab mata, diam sejuta bahasa, mendengar derap tiap langkah mu yang perlahan menghilang di balik sebuah pintu kayu. Lenyap bersama deru kendaraan yang tak bisa saya tebak ke mana arah tujunya.

Sesak dan penuh. Berbagai tanya memberangus seisi kepala.

Mengapa dan kenapa?

Kini hening tak hanya membanjiri suasana, pun hati saya yang kalut bercampur beratnya rindu yang tiba-tiba merangsek tak lagi kenal waktu. Kalau saja derai air mata ini tak deras mengalir, maka saya akan lebih memilih untuk terbahak. Menertawai kamu dan saya. Yang sebelum hari ini, masih menjadi dan mendendangkan tentang sebuah kita. Ya, bukankah kita seperti lelucon yang mengundang gelak dan buncah ‘hahaha’? Persetan dengan semuanya! Kita sudah berusaha dengan keras mencoba mempertahankan sesuatu yang bahkan tidak pernah ada. Tidak pernah ada. Dan kamu yang baru saja berjalan pergi, memilih mengakhiri sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar kita mulai bersama. Ini menjadi semakin rumit dan gila.

Kenapa kamu terlalu terburu-buru begitu?

Kamu bisa saja memberikan saya pelukan untuk terakhir kalinya. Bukan hanya tatapan nanar yang membuat saya mati tenggelam di dalamnya.

Kenapa kamu menjadi begitu kelu dan beku?

Kamu bisa saja memagut bibir saya dengan nafas lembut yang perlahan menderu. Dipenuhi hawa nafsu. Persis, seperti dulu. Kamu bisa saja menggenggam jemari saya. Seperti yang dulu sering kamu lakukan.



Saat dia tidak ada.