Kelas satu.
Hari ini kami berkenalan.
Duduk bersebelahan. Kami saling
mengulurkan tangan.
Namanya Daru.
Dan ia tertawa, saat aku menyebutkan
namaku.
***
Memasuki semester akhir,
Kami menjadi sangat dekat. Sepasang
sahabat.
Tingkah lakunya yang bodoh, selalu
membuatku tertawa.
***
Sore ini kami bersepeda.
Dia menyuruhku berdiri di atas
pedal, dan berpegangan pada pundaknya.
Aku merentangkan tangan. Merasakan
angin membelai lembut wajahku. Menyibakkan rambutku.
"Oi! Awas jatoh nanti!"
pekiknya.
***
Sudah 30 menit.
Akhirnya ia selesai bermain bola.
Lihat peluhnya. Membanjiri tubuhnya
dan membasahi hampir seluruh pakaiannya.
"Nih," aku memberikannya
sebotol air mineral.
Kami duduk bersebelahan.
Tubuhnya masih basah. Dia menggoda.
Memelukku erat agar keringatnya ikut
membuatku basah.
Aku memukul kepalanya.
Ia tertawa.
Dia masih melakukannya.
Aku meronta.
Rgh! Aku benci
keringatnya.
Tapi aku menyukai rasa hangatnya.
***
"Ami!"
Panggilnya. Dia memintaku
menunggunya sampai ia selesai dengan hukumannya.
Si bodoh ini sudah berhasil
memecahkan kaca jendela.
Apalagi?
Dia bermain bola di dalam kelas saat
guru tidak ada.
Aku sudah memperingatkannya. Tapi ia
hanya tertawa sambil menggaruk belakang kepalanya.
***
Kelas dua.
Gadis itu melangkah masuk ke dalam
kelas.
Anak pindahan itu bernama Renata.
Cantik jelita.
Daru menyukainya.
***
Terakhir aku masih selalu
bersamanya, tiga bulan lalu.
Kami hanya bertemu di kelas.
Dia masih saja terus membicarakan
kekasih barunya.
Kami sudah tak lagi bersepeda pulang
bersama.
Ia harus mengantarkan kekasihnya.
Dengan motor barunya.
***
"Sombong!" aku memukul kepalanya.
Ia tertawa.
Menggodaku. Memberikan sebotol
minuman dan dua buah beng-beng.
"Sorry," katanya.
Dia berjanji mentraktirku makan lain
hari.
Aku sungguh merindukan saat seperti
sekarang ini.
Hanya ada kami. Di kantin yang hampir sepi.
Bercerita. Tertawa. Bercanda.
Memukul kepalanya. Melihatnya tertawa.
Lalu dia pergi. Bersama kekasihnya.
Renata melambaikan tangannya.
Mereka bergandengan. Berjalan keluar
dari kantin.
Entahlah, aku merasa mati, detik
ini.
***
Sudah kelas tiga.
Kami kembali bersama. Seutuhnya.
Dia memutuskan hubungannya dengan
Renata.
Rasanya bahagia.
***
Dia berlari.
Aku mengejarnya.
Si bodoh itu mengambil buku
catatanku.
Kami masih berlari.
Wajahku memerah. Bajuku basah.
Keringatku sebesar biji jagung.
"Begok!"
Aku memukul kepalanya. Dia hanya
tertawa.
Entah bagaimana awalnya,
Aku hanya diam saat ia melakukannya.
Aku menyukai rasa bibirnya.
Aku menyukai aroma tembakau dari
dalam mulutnya. Manis.
Aku menyukai lembut nafasnya.
Pohon besar yang ada di belakang
sekolah ini yang menjadi saksinya.
***
Malam tahun baru.
Yang lainnya tertawa bersama di
bawah.
Aku memilih di atas sini. Melihat
redupnya bulan dan kerlipan gemintang.
Ia datang.
Sempoyongan.
Kembang api mulai bersautan.
Ia merangkulku.
Ia tertawa.
Aroma alkohol menyengat dari dalam
mulutnya.
"Denger ya, pokoknya, kita
bakalan jadi SEPASANG sahabat selamanya! Wohoooo! HAPPY NEW YEAR..!"
Daru tertidur.
***
Di luar hujan deras.
Rumahnya sepi. Seperti biasa.
Hanya ada kami.
Daru menggodaku.
Aku memukul kepalanya.
Dia tertawa.
Dia menggodaku, lagi. Aku memukul
kepalanya, lagi.
Berbeda.
Dia tidak tertawa.
Kemudian, kami melakukannya.
Yang tidak seharusnya.
Ini gila.
Aku begitu menikmati geliat
tubuhnya.
Ini gila.
Aku menikmati tiap desahannya.
Ini gila.
Aku menikmati nafasnya yang memburu.
Aku menikmati peluh keringatnya.
Hangat.
Ini gila!
Aku menyukainya. Semuanya.
Mengerang. Melenguh. Bersama.
***
Aku tetap di Indonesia.
Daru memutuskan untuk meneruskannya
ke Malaysia.
***
"Kenapa harus kuliah di sana?"
Ia menjawabnya dengan tawa.
Dan memasangkan seutas gelang.
Tanda persahabatan. Yang abadi,
katanya.
Dia membisikanku sesuatu.
Aku tertawa. Dengan hangatnya air
mata.
Kami saling melambaikan tangan.
***
Dia bercerita.
Daru bertemu dengan seorang wanita.
Di Malaysia.
Melalui skype, aku tersenyum untuknya.
***
Aku mematikan laptop.
Daru kembali tidak menepati janjinya.
Sibuk dengan wanitanya.
Di sana.
***
Aku tetap sendiri.
Sepi.
***
..........
***
Sudah tiga tahun berlalu.
Aku sering ke tempat ini.
Menyendiri.
Semilir anginnya hangat. Persis
seperti nafasmu kala itu.
Taman ini, sepi.
Aku membuka jendela mobil.
Melihat dedaunan kering yang hempas
satu-persatu.
Aku tertawa.
Mengingat bisikmu di bandara kala
itu.
Kau bilang, carilah wanita untuk
menggantikan sepiku sementara tanpamu.
Aku kembali tertawa.
Mengingat hari di mana pertama kita
bertemu.
Saling mengulurkan tangan,
Dan kau tertawa.
Kau bilang, namaku seperti nama seorang
wanita.
Daru,
cepatlah pulang.
Aku
merindukanmu.
Aku rindu memukul kepalamu dan
mendengar tawa riuhmu.
Aku rindu aroma tembakau bercampur
alkohol dari dalam mulutmu.
Atau sebenarnya aku merindukan dua
bilah bibirmu.
Cepatlah pulang, SAHABATKU.
Pria kecil ini merindukan kamu.
Aku tersenyum.
Mendengar sebuah lagu.
Mungkin
benar, kita memang ditakdirkan seperti sepasang sepatu. Selalu bersama, tanpa
bisa bersatu.
No comments:
Post a Comment