Saturday, August 1, 2015

Jawaban (?)

"Jadi, pada akhirnya hatimu luluh?"
Dia diam. Matanya terus memandang langit malam yang sedang sepi dari kerlipan bintang. Hanya ada rembulan yang bersinar sayu, nampak malu-malu. Di sebuah bangku kayu kami duduk bersebelahan. Sudah jam 12 malam. Kantor ini sudah sepi dari lalu lalang.
"Iya," jawabnya akhirnya. Memecah keheningan yang sempat memberangus kami berdua.
Aku tersenyum. Kecut.
"Dia hebat. Akhirnya berhasil  juga dia meracuni hatimu." Aku menarik nafas dalam. "Hahaha, wanita murahan itu akhirnya berhasil juga menggondol perasaanmu. Diawali dengan sebuah ciuman gilanya, kini kau menjadi ketagihan? Cih! Kau sungguh luar biasa. Meskipun dadanya kau bilang rata, tak kuat juga berahimu menahan semampai tubuh dan jenjang kakinya, akhirnya? Dia mahir di atas ranjang sampai mampu mencairkan hatimu yang lama beku?"
Hatiku mendidih. Seperti kedua bola mataku.
Dia hanya diam. Masih menatap langit malam. Mungkin tak berani menatapku setelah lama menutupi kebohongan.
"Aku mencintainya," katanya.
"Aku tau."
Dia menatapku yang kini sedang melihat ke arah langit malam.
"Aku tau kau memang akan luluh dan mencintainya. Kau ... tak pernah benar-benar belajar dari pengalaman."
"Ya," jawabnya singkat.
"Dia akan meninggalkanmu dengan pria lainnya nanti. Kau hanya pelarian. Kau tau itu. Kau hanya dijadikan alas karena dia sedang butuh sandaran. Karena dirinya baru saja ditinggalkan. Kau masih saja bodoh. Perempuan murahan itu akan menghempaskanmu dalam angan. Kau sudah pernah merasakan hal itu sebelumnya. Mengapa kau teruskan?"
"Aku tau."
"Lalu kenapa?" Wajahku menegang.
Dia hanya mengangkat kedua bahunya.
"Kalau begitu aku akan pergi," aku berdiri. Sudah tak lagi sudi menatap wajahnya. "Jangan cari dan datangi aku lagi."
Aku melangkah berlalu.
"Tidak!" Dia menarik tanganku kencang dari belakang. Membuatku jatuh terhempas ke dalam pelukan. Lalu mendekapku dalam. Aku bisa merasakan jantungnya berdegup kencang.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi."
"Lepaskan."
"Tidak."
"Lepaskan!"
"Tidak!"
Kami bersitegang. Tubuhku tenggelam dalam pelukannya yang mencengkeram.
"Mengapa?" kataku gusar.
"Karena kita akan tetap bersama. Selamanya bersama!"
"Tidak bisa. Aku tidak mau!"
"Bisa. Kau harus mau! Selamanya! Dalam sebuah persahabatan."
"Tidak bisa," kataku mulai gemetar.
"Bisa!" dia memaksa.
"Aku tidak mau!"
"Kau harus mau!"
"Aku mencintaimu!!! Aku mencintaimu ... tolol!" Tak bisa lagi aku menahan. Air mataku jatuh berhamburan. Aku sungguh mencintai pria dungu ini. Mencintainya, bahkan lebih dari persahabatan yang hanya ia bisa tawarkan selama ini dan sampai kapan pun.
"Aku tau."
"Kau tau?"
"Iya, aku tau," katanya tenang.
"Lalu kenapa?"
"Untuk apa? Kau sudah tau jawabannya."
"Kenapa? Mengapa kau tak bisa mencintaiku juga dan malah memilihnya? Aku yang selalu ada di sampingmu dan membantumu. Aku yang selalu setia mendengar setiap keluh kesahmu! Kenapa kau memilihnya? Dia baru saja datang. Lalu dia mendapatkanmu semudah membalikkan telapak tangan! Bajingan!"
"Apa kau pikir akan mungkin?"
Aku terdiam sebelum kembali meneruskan, "kalau begitu, tinggalkan aku." Tenagaku mulai habis.
"Tidak akan."
"Kenapa? Kau menyiksaku!"
"Tidak. Aku menyayangimu."
"Lalu kenapa kita tak bersama?"
"Kau sudah tau jawabannya. Kita tak mungkin bisa bersama! Berhenti memaksa!" suaranya memekik tinggi.
Aku menangis sesenggukan. Dia mendekapku semakin dalam.
"Kita bisa," suaraku masih gemetar.
"Hanya dalam persahabatan," sambungnya.
"Tidak!"
"Iya! Aku tak akan pernah melepaskan dan membiarkanmu meninggalkanku," katanya. "Aku sungguh menyayangimu. Kau sahabatku. Selamanya!"
"Oh, aku sungguh tak mengerti ... Mengapa?"

Bibirnya mengatup. Nafasnya memburu. Dia hanya diam. Begitupun denganku. Menyisakan hening yang tengah tertawa terpingkal bersama sepi. Memberangus kami yang tengah tenggelam dalam perseteruan. Tak ada kepastian. Tenagaku sudah habis di dalam pelukannya yang semakin kencang.

Sedetik.
Semenit.
Sejam.

Kami berubah menjadi siluet di tengah gelapnya malam.

"Aku tidak bisa ..
Kau sudah tau jawabannya.

Kau pun seorang pria."

Bisiknya, membuat tangisku kembali berderai.

***

Tentang Apa Saja

Aku ingin menuliskan tentang apa saja. Menuliskan tentang sesuatu yang mereka pikir, 'lagi-lagi secarik kisah dangkal dan sendu'. Karena tentang apa sajaku,

hanyalah kamu
masihlah kamu
dan pastilah tentangmu

Aku memang ingin menuliskan tentang apa saja.
Tentang kamu yang tersenyum kaku saat pertama kali melihat dan datang ke arahku. Tentang kamu yang sungkan untuk menjabat tanganku, dan mencoba melucu untuk pertama kalinya dengan tawa yang nyaris membeku. Apa sajaku kali ini, tentang pertemuan kali pertama kita waktu itu.

Apa sajaku, memang selalu tentang kamu. Yang membuat aku mulai merasakan ketidakharmonisasian degup jantungku kalau lama-lama menatap kedua bola matamu. Yang membuatku menjadi belingsatan. Seperti sedang bersenggama dengan setan binal, liar, dan nakal. Membuatku tak karuan, berpikir tentang bagaimana rasanya memagut bilah bibirmu yang ranum kemerahan.

Aku ingin menuliskan tentang apa saja yang ada pada ragamu. Pada helai rambutmu yang sedikit kasar, atau matamu yang kadang kudapati nanar. Aku ingin menyentuh setiap jengkal tubuhmu dalam goresan hitam tulisanku saat ini. Aku ingin menyentuhmu perlahan, bersama apa saja yang pernah kau lakukan dan kau ceritakan.

Apa saja
Asalkan tentangmu
Apa saja

Termasuk sebuah pelukan hangat yang kau berikan. Yang tanpa kau sadari, sudah membuatku berlabuh sangat jauh, terperosok dan terjerembab ke dalam angan.

Aku ingin menuliskan tentang apa saja. Dan apa sajaku, memang masih tentangmu yang ku simpan dalam benak dan hatiku secara diam-diam. Kesekian kalinya. Hanya diam.
Apa saja ini, memang memuakkan.
Namun tak dapat dengan mudah ku singkirkan. Karena apa saja itu ... telah menerobos masuk, dalam bongkah perasaan.




-fhm