Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya,
Pada teriknya siang kala itu
Pada pesawat yang berlalu lalang di Bandara Soetta--Yang seakan tertawa di atas kesedihanku merelakanmu
Pergi--tanpa pernah kembali
Aku ingin menangis sejadi-jadinya--Karena hati yang patah
Pada janji yang tak pernah bisa kau tepati
Aku ingin marah,
Membabi buta
Memakimu sekasar-kasarnya,
Anjing! Tai! Bangsat! Brengsek! Bajingan!--Yang tak pernah bisa benar-benar bersuara
Karena pada setiap derap langkahmu berlalu, mulutku bungkam terpaku
Aku ingin sekali membenci,
Pada Dewata Bali--Yang mempertemukan kita, yang membawa trauma yang menggila
Tuhan--Aku ingin mati.
Monday, September 10, 2018
Biasa Saja
Kayu hangus menjadi abu,
Api menyisakan asap, melayang bersama gelapnya
malam yang getir dan tabu
Pekat putih yang terseok oleh sepoi angin
Berselimut dingin
Sungguh,
Sebelum tubuh ini membiru
Sebelum raga ini membusuk & kaku, ingin
ku ceritakan sesuatu
Tentang remangnya senja, tentang hijaunya
rumput, atau birunya laut dan ombak yang berdesir menabik pasir
Tentang apa saja, asal bukan tentang kamu
Di dalam jiwa yang lara,
Tenggelam dalam duka dengan gurat luka yang
menganga,
“Sejujurnya, aku ingin menjalani hidup ini
biasa saja. Dengan sederhana saja—(Mungkin) menghabiskan waktu bersama dengan
seseorang yang memiliki pemikiran yang kurang lebih sama. Duduk di depan teras rumah penuh canda,
sesekali tertawa. Membicarakan tentang kita. Membicarakan hal-hal yang tak
melulu persoalan harta atau kekurangan yang lainnya.”
Subscribe to:
Posts (Atom)