Sunday, May 20, 2012

Dosa Termanis

Seperti sebuah lukisan alam yang menjadi kenyataan.

Langit senja tengah bersemu merah dan jingga. Burung gereja yang berterbangan, berkicauan bernyanyi bersama, seakan sengaja membuat nyanyian irama sore yang merdu dan syahdu. Angin dengan lembut menabik dahan yang bergelayut resah, menumpahkan daun kering menghujani tanah. Matahari terlihat sangat lelah seperti ingin tertidur pulas sambil terus menyandarkan tubuhnya di ufuk barat sana.

Tidakkah kau mendengar suara anak kecil yang sedang berlarian? Melihat warna-warni balon gas yang dijual oleh lelaki paruh baya di ujung sana?

Rasanya, tidak pernah seindah ini.
Ya, tidak pernah seindah ini.

Genggaman tanganmu terasa hangat. Begitu hangat, bahkan lebih hangat dari sinaran mentari pagi tadi.

Tahukah kau, aku bahkan tidak rela untuk melepaskannya. Tidakkah kau merasakan aku menggenggammu dengan sangat erat saat ini?
Seperti elang yang sedang mencengkram mangsanya.

Aroma tubuhmu, seperti aroma bunga di taman nirwana. Hey, bahkan aku ingin selalu bersandar padamu. Pada bahumu yang kokoh seperti tebing keras di sebuah jurang. Pada bahumu yang kuat seperti batu karang yang tak goyah meski berkali-kali diterjang ombak.

Aku yang menatapmu saat ini, berusaha memperhatikan dan mengingat setiap jengkal garis wajahmu.
Alismu yang tebal dan sorot matamu yang tajam, terlihat sangat teduh. Seperti pohon tua dengan dedaunan rindang yang menghembuskan angin segar. Seperti ilalang yang tertiup angin lalu bergoyang beriringan.

Kau tersenyum. Balas menatapku.

Sirnalah sudah semua dukaku. Senyummu mampu merengkuh semua getaran cinta di dalam dadaku.

Tapi sadarkah kau?

Senyummu yang melengkung seperti garis pelangi itu, sudah membuatku menjadi seorang pesakitan egois.
Aku ingin memilikimu seperti bayi kelaparan yang ingin meminum susu. Akan selalu menangis jika belum diberikan.

Aku ingin memilikimu seperti Rama yang menginginkan Sinta. Seperti Romeo yang selalu mendambakan Juliet.

Dan tahukah kau?

Aku merasa begitu takut. Aku sangat takut, merasa seperti langit akan runtuh lalu menimpaku dan menguburku jauh masuk ke dalam tanah. Sampai aku tidak dapat bernafas. Sampai aku akhirnya mati dalam duka dan sayatan penuh luka.
Tahukah kau, aku takut untuk menghadapi kematian dalam lautan rindu kepadamu.

Jika kau mungkin bertanya padaku, apa harapanku saat ini?

Aku hanya ingin sore ini berjalan sangat lambat. Aku ingin sang empunya waktu bersantai dan beristirahat sejenak terlebih dahulu, hingga esok pagi tak mengapa kalau akan datang dengan sangat terlambat. Aku ingin senja ini menjadi lukisan yang abadi.
Aku hanya ingin digenggam olehmu jauh lebih lama. Aku hanya ingin dipelukmu sebentar lagi.

Karena kau dan aku tahu, saat esok pagi datang, semuanya akan sirna dan menghilang.
Saat esok pagi datang, dia yang ku panggil sahabat akan menunggumu dengan senyuman manisnya di depan pintu. Dia yang kau panggil kekasihmu, akan memelukmu dengan penuh kasih.

Saat esok pagi mulai datang, aku pun hanya bisa bersandiwara kembali. Seolah kau dan aku, hanya sebatas teman yang hanya bisa saling bertatapan saat kalian mulai memperlihatkan setiap bait kemesraan. Dan lalu, aku akan kembali terjun ke dasar jurang tanpa tepi, karena melihat kalian berdua bertingkah seperti angsa yang berirama menari. Menyisakan duri.

Akhirnya, entah dalam senyum atau air mata nanti, aku hanya akan dapat mengingat setiap geliat dosa yang terasa manis ini.

-FHM-

No comments:

Post a Comment