Ting!
“Kamu di mana?”
“Kantor.”
Ting!
“Selesai jam berapa?”
“Jam 5 kayaknya. Kenapa?”
Ting!
“Aku kangen.”
“Kangen?”
Ting!
“Mampir ke tempatku ya?”
...............
Ting!
“Gak bisa ya? :(“
“Sbntr. Msh ada kerjaan.”
Ting!
“Ayo dong... Km gak kangen?”
...............
Ting!
“Sibuk bgt?”
................
Ting!
“Halo... km di sana?”
.............
Ting!
“Halo?”
“Iya. Nanti aku ke sana.”
Ting!
“Asik! Aku tunggu.”
.............
***
Ting tong!
Aku menekan bel. Semenit, seorang
lelaki dengan rambut berantakan menyambutku. Kaos putihnya tipis, menunjukkan
bidang dadanya. Celana boxer-nya yang
super pendek jelas menunjukkan kencang kakinya yang berbulu. Ia kemudian
tersenyum. Entah senyuman bahagia, senang, atau puas karena keinginannya
kembali akan terpenuhi. Malam ini.
“Kamu sendirian?” tanyaku.
Sekedar berbasa-basi.
“Iya, nih. Kamu ke mana aja sih?
Sibuk banget kerja ya, sampe nggak pernah ngabarin? Aku kangen.”
“Ya ... kayak yang kamu liat.
Terus, kamu nggak mau nyuruh aku masuk?”
“Oh iya,” dia menggaruk-garuk
belakang kepalanya. “Masuk yuk.”
Dia membuka pintunya lebar.
Selebar senyumannya mempersilakan aku masuk ke dalam apartemennya yang terlihat
berantakan. Khas lelaki.
“Jadi, ke mana perginya...” aku memilih
untuk tidak melanjutkan kalimatku. Dia mengajakku untuk datang ke sini sudah
pasti...
“Oh. Biasa. Singapur. Liburan,
katanya. Udah hampir seminggu nih aku sendirian. Untung malem ini ada kamu.”
Jawabnya seperti sudah tahu ke mana arah pertanyaanku.
“Pantes berantakan begini.”
“Makanya, kamu rapiin dong,”
ucapnya sembari mendekat dan memelukku dari belakang. Aku langsung dapat dengan
jelas merasakan hangat hembusan nafasnya berpapasan dengan kulitku. Dia mencium
pundakku. “Aku kangen banget sama kamu.” Katanya lagi. Nafasnya terasa sedikit
memburu.
Merindukanku? Sungguhkah?
Dia mencumbui pundakku lagi.
Memelukku semakin erat. Tangannya keras melingkar di pinggangku. Tubuhnya
terasa hangat. Nafasnya kini mulai beringas.
“Kamu gak kangen aku ya?”
Aku? Merindukannya?
Aku menjatuhkan tas ku asal ke
atas lantai. Kemudian berputar membalikkan tubuhku tiba-tiba. Membuatnya
sedikit terkejut namun senang. Aku menatap matanya lekat. Memperhatikan
rahangnya yang kokoh. Rindu? Apa aku merindukannya? Aku tidak tahu. Tapi
pekerjaan kantor yang rasanya mencekik leherku membuatku ingin menemuinya
begitu saja malam ini. Menemuinya kembali setelah kami berdua saling menghilang
tak memberi kabar. Tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Dia tersenyum
menatapku. Tak perlu menebak apa yang kemudian terjadi selanjutnya.
Tak perlu menunggu lama untuk
kami kemudian saling bersentuhan bibir. Saling memagut tak berhenti. Tanpa
irama pasti. Lembut berbaur dengan kasar. Cepat bercampur dengan lambat.
Meliuk. Menari. Melepas sesuatu yang dia bilang adalah ‘rindu’. Benarkah rindu?
Lidahnya menjulur dengan bebas. Menjalar dengan liar. Membuat bilah bibirku
basah dan memudarkan gincu merah yang ku pakai. Inikah yang disebut ‘rindu’?
Persetan! Aku membiarkan dia membalaskan dendam rindunya yang memburu padaku.
Tanpa perlawanan. Akan ku nikmati setiap geliat rindunya malam hari ini.
Tangannya begitu mahir dan
cekatan. Menjelajahi setiap sudut tubuhku dengan lihai. Dia begitu pandai. Seperti
sedang menekan tuts pada piano, dia tidak hanya menghasilkan nada yang merdu.
Namun lenguhan panjang yang terdengar begitu syahdu. Membakar suasana yang
semakin menderu. Bergejolak tanpa batas. Aku bahkan sudah lupa bagaimana
kemudian kami sudah saling merengkuh rindu ini dengan saling berpeluh keringat.
Seperti sedang sama berlari menuju puncak yang kami pijaki beriringan. Kadang
kami saling tertawa. Saling tersenyum. Namun lebih sering kami sibuk saling
menikmati kerinduan ini dengan ekpresi wajah yang tak lagi dapat kami kuasai
sendiri. Yang katanya ‘rindu’ ini, sudah berhasil merajai kami.
Tanpa sehelai benang, kami mulai merajut
bagian demi bagian simpul menjadi utuh. Apakah rindu ini begitu menyakitkan
sampai membuatnya mengerang? Apakah rindu ini melelahkan sampai membuat kami
berkeringat dan bernafas dengan ngos-ngosan? Rindu ini terasa begitu
membingungkan sampai membuat kami hanya bisa melenguh dengan panjang tanpa
saling melawan. Kami hanya saling pasrah dan membiarkan. Tunduk pada seuntai
rindu.
***
“Kamu mau langsung pulang?”
tanyanya pagi itu. Dia mengerjapkan matanya. Terlihat jauh lebih berantakan
dari malam saat aku menemuinya. Sebegitu beratnya kah rindu sampai membuatnya
tak sanggup untuk beranjak dari tempat tidurnya kini. “Kamu nggak mau stay sebentar lagi aja? Aku masih kangen
kamu.” Wajahnya memelas.
“Nggak bisa. Bukannya hari ini
jadwal Alisa pulang?”
Dia terdiam. Mengucek-ngucek
matanya.
“Ya, tapi kan nanti malam Alisa
baru pulangnya.”
“Kamu nggak takut kita ketahuan?”
“Kita nggak bakalan ketahuan kok.
Jangan pulang dulu ya. Aku masih kangen banget sama kamu.”
Aku menghela nafas. Memilih tetap
berlalu. Entah kenapa rindu ini mulai terasa sedikit memuakkan. Aku berjalan
menuju ambang pintu. Sorot matanya menatap setiap jengkal langkah kaki ku. Aku
berhenti sejenak. Menoleh. Memperhatikan gurat wajahnya yang kelu. “Aku kangen. Tapi nggak samu kamu.” Aku
menutup pintu.
***
Ting!
“Iya, aku di rumah kok hari ini.
Ada apa?”
Aku tersenyum membaca sebuah
pesan yang baru saja ku terima. Sebelum akhirnya... “Aku mau mampir. Kangen.”
***