Monday, November 23, 2015

Pada Saatnya

Pada saatnya, cinta pasti akan tiba.
Mungkin.
Entah kapan dan di mana.
Bisa saja.
Pada saatnya.
Saat kau menari, berlari, terjatuh, tertawa, menangis, sendiri atau dalam keramaian. Bahkan bisa saja pada saat kau tak sadarkan diri. Entah karena kerasnya musik yang menghentak atau banyak alkohol yang larut dalam aliran darahmu.


Cinta bisa saja tiba, tanpa pertanda.

Friday, November 20, 2015

HARI BAHAGIA

Hari ini merupakan hari kebahagiaan kami berdua. Kalian lihat pria yang tengah mengobrol dengan teman-temannya di ujung sana? Bukankah dia tampak begitu tampan dengan stelan jas hitamnya? Sungguh menambah kesan maskulin pada tubuhnya yang tegap berisi. Aku yakin sekali, siapa pun yang melihatnya pasti akan iri. Bagaimana mungkin pria setampan itu akhirnya memutuskan untuk menikah dan mengakhiri masa lajangnya secepat ini? Padahal dia bisa saja mencari seseorang yang bahkan lebih tepat, lebih sesuai, dan lebih baik lagi. Atau dia bahkan masih bisa meneruskan beasiswa gelar masternya ke luar negeri. Atau kenapa pria itu tak meneruskan bisnis ayahnya saja dan malah memilih terikat di sini meninggalkan semuanya? Demi hari ini. Cinta memang benar-benar buta. Mungkin itu yang sudah dan akan mereka pikirkan. Lagipula, siapa yang tak akan patah hati saat ini? Perhatikan. Senyumnya terus mengembang lebar sedari tadi. Sorot matanya yang tajam terlihat sangat teduh. Seteduh angin sore dari pepohonan rindang pada senja. Oh lihatlah, dia bahkan masih saja sibuk bercerita tentang apa yang sudah kami alami berdua sebelum akhirnya sampai tepat di hari ini. Dasar. Apa semua orang benar-benar perlu tahu tentang cerita kami?

Sejujurnya, aku bahkan tak mau lagi mengingatnya. Mengingat apa yang sudah kami lalui. Cerita cinta kami, tak seindah yang selalu diceritakan dalam sebuah film atau buku fiksi yang mengumbar rasa bahagia semata. Perjalanan kami, penuh liku. Dan sebut saja dilengkapi dengan nestapa. Kalau katanya cinta membuat orang bahagia, namun mengapa hanya kami yang mampu merasakannya? Sementara yang lain menjadi kalang kabut seperti terbakar oleh api neraka?

Bagaimana awal kami bertemu? Sungguh kalian ingin tahu? Semuanya diawali karena pertemuan tak sengaja dua tahun yang lalu. Di sebuah kedai kopi kecil dengan lampu temaram keemasan. Dia duduk sendiri di bagian pojok favoritnya. Yang berbeda, dia tak lagi ditemani seorang wanita yang biasa membuatnya tertawa. Kali itu, dia hanya sendiri dengan gurat kaku dan sorot mata yang sepi. Lalu entah bagaimana aku mempunyai keberanian untuk menghampirinya. Sekedar untuk menemaninya, yang kemudian tak sengaja malah larut dan tenggelam dalam pembicaraan yang menautkan hati ke hati. Berbicara tentang dirinya yang ternyata ditinggalkan begitu saja dan dikhianati. Dan tentang kisah ku yang bertepuk sebelah tangan pada sang pujaan hati. Bukankah itu lucu? Ketidaksengajaan itu seperti menawarkan sesuatu pada kami. Ketidaksengajaan itu membawa sebuah pesan, bahwa ternyata kami tidak hanya sendiri. Lalu ketidaksengajaan itu membuat kami tertawa terpingkal hingga menjadi sering bertemu di kemudian hari. Tapi, apa benar semua tak sengaja? Bukankah semua yang terjadi di dunia ini telah digariskan oleh Tuhan? Yang ku tahu, ketidaksengajaan itu sudah membawa kami akhirnya sampai di sini. Di tengah keramaian kerabat yang tak ku sangka masih ada yang mau ikut berbahagia dengan kisah percintaan kami. Mungkinkah mereka orang-orang yang betul paham apa itu makna cinta? Atau mereka hanya datang atas dasar perasaan tidak tega? Kenapa juga aku harus memedulikannya. Bahkan seharusnya aku bersyukur karena masih ada mereka di sini. Di saat yang lain hanya bisa memberondong kami dengan maki dan caci. Di saat mereka bersusah payah memberikan penjelasan apa itu makna cinta yang hakiki demi untuk merobek apa yang telah kami rajut selama ini? Tapi sekali lagi, untuk apa aku peduli. Lihatlah, pria dengan rahang sekeras batu itu tetap memilihku tanpa peduli pada begitu banyak hal yang dipertaruhkannya yang mungkin tak akan pernah kembali lagi. Bukankah aku begitu beruntung dan lebih banyak harus bersyukur atas semua ini? Atas semua ketidaksengajaan yang pernah terjadi dan datang pada kami.

Dan sekali lagi, lihatlah kami yang sudah berada di sini. Apakah ini berarti kami sudah memenangkan percintaan yang kami perjuangkan? Atau sebenarnya kami telah kalah oleh cinta itu sendiri karena tetap memilih melangkah dan meninggalkan kebahagiaan yang mereka janjikan? Menang atau kalah, asal bersamanya aku tidak lagi peduli. Sudah sampai sejauh ini untuk sekedar menyesal. Kami sudah tiba di tengah hari berbahagia kami. Hanya kami berdua. Yang sudah berjanji sehidup semati. Mengarungi bahtera rumah tangga beralaskan cinta yang sejati. Cinta yang sepenuh hati. Cinta yang akan kami bawa sampai mati.

Oh, hahaha, lihatlah pria itu mulai sadar tengah ku perhatikan sejak tadi. Mata ku memang tak pernah dapat berhenti menjatuhkan pandang padanya sejak kali pertama bertemu. Lihatlah, dia tersenyum padaku. Dan jantung ku masih saja berdegup kencang tiap melihat senyumannya. Sekarang dia mulai berjalan menghampiri ku dengan senyuman yang tak pernah pudar sejak pagi tadi. Dia semakin mendekat. Dan dekat. Kami berhadapan kini.

“Kamu bahagia?”

Oh, mengapa dia menanyakan hal yang sudah pasti dia tahu jawabannya. Yang tidak lagi mampu untuk ku jawab dengan sekedar kata kecuali dengan hanya senyum yang mengembang. Dan mata ku yang mulai berkaca-kaca. Dia menggenggam jemariku. Hangat. Tangannya selalu terasa hangat. Dia menciumnya dengan lembut. Sambil menatapku kembali.

“Kamu bahagia?”

Dia menanyakannya sekali lagi. Dan kembali, aku hanya bisa terdiam dengan semu merah di pipi. Kami hanya saling berpandangan. Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening. Waktu seakan sengaja berhenti untuk memberi kesempatan pada kami.

“Kamu manis sekali hari ini,” katanya sambil merapikan kerah kemeja putih yang ku kenakan di dalam jas yang juga berwarna hitam senada dengan jas yang ia kenakan. Lalu kemudian, aku hanya mendengar riuh tepuk tangan, sorak sorai, saat bibir kami mulai saling bersentuhan.

***


Thursday, November 19, 2015

KANGEN

Ting!
“Kamu di mana?”
“Kantor.”

Ting!
“Selesai jam berapa?”
“Jam 5 kayaknya. Kenapa?”

Ting!
“Aku kangen.”
“Kangen?”

Ting!
“Mampir ke tempatku ya?”
...............

Ting!
“Gak bisa ya? :(“
“Sbntr. Msh ada kerjaan.”

Ting!
“Ayo dong... Km gak kangen?”
...............

Ting!
“Sibuk bgt?”
................

Ting!
“Halo... km di sana?”
.............

Ting!
“Halo?”
“Iya. Nanti aku ke sana.”

Ting!
“Asik! Aku tunggu.”
.............

***

Ting tong!
Aku menekan bel. Semenit, seorang lelaki dengan rambut berantakan menyambutku. Kaos putihnya tipis, menunjukkan bidang dadanya. Celana boxer-nya yang super pendek jelas menunjukkan kencang kakinya yang berbulu. Ia kemudian tersenyum. Entah senyuman bahagia, senang, atau puas karena keinginannya kembali akan terpenuhi. Malam ini.
“Kamu sendirian?” tanyaku. Sekedar berbasa-basi.
“Iya, nih. Kamu ke mana aja sih? Sibuk banget kerja ya, sampe nggak pernah ngabarin? Aku kangen.”
“Ya ... kayak yang kamu liat. Terus, kamu nggak mau nyuruh aku masuk?”
“Oh iya,” dia menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Masuk yuk.”
Dia membuka pintunya lebar. Selebar senyumannya mempersilakan aku masuk ke dalam apartemennya yang terlihat berantakan. Khas lelaki.
“Jadi, ke mana perginya...” aku memilih untuk tidak melanjutkan kalimatku. Dia mengajakku untuk datang ke sini sudah pasti...
“Oh. Biasa. Singapur. Liburan, katanya. Udah hampir seminggu nih aku sendirian. Untung malem ini ada kamu.” Jawabnya seperti sudah tahu ke mana arah pertanyaanku.
“Pantes berantakan begini.”
“Makanya, kamu rapiin dong,” ucapnya sembari mendekat dan memelukku dari belakang. Aku langsung dapat dengan jelas merasakan hangat hembusan nafasnya berpapasan dengan kulitku. Dia mencium pundakku. “Aku kangen banget sama kamu.” Katanya lagi. Nafasnya terasa sedikit memburu.
Merindukanku? Sungguhkah?
Dia mencumbui pundakku lagi. Memelukku semakin erat. Tangannya keras melingkar di pinggangku. Tubuhnya terasa hangat. Nafasnya kini mulai beringas.
“Kamu gak kangen aku ya?”
Aku? Merindukannya?
Aku menjatuhkan tas ku asal ke atas lantai. Kemudian berputar membalikkan tubuhku tiba-tiba. Membuatnya sedikit terkejut namun senang. Aku menatap matanya lekat. Memperhatikan rahangnya yang kokoh. Rindu? Apa aku merindukannya? Aku tidak tahu. Tapi pekerjaan kantor yang rasanya mencekik leherku membuatku ingin menemuinya begitu saja malam ini. Menemuinya kembali setelah kami berdua saling menghilang tak memberi kabar. Tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Dia tersenyum menatapku. Tak perlu menebak apa yang kemudian terjadi selanjutnya.
Tak perlu menunggu lama untuk kami kemudian saling bersentuhan bibir. Saling memagut tak berhenti. Tanpa irama pasti. Lembut berbaur dengan kasar. Cepat bercampur dengan lambat. Meliuk. Menari. Melepas sesuatu yang dia bilang adalah ‘rindu’. Benarkah rindu? Lidahnya menjulur dengan bebas. Menjalar dengan liar. Membuat bilah bibirku basah dan memudarkan gincu merah yang ku pakai. Inikah yang disebut ‘rindu’? Persetan! Aku membiarkan dia membalaskan dendam rindunya yang memburu padaku. Tanpa perlawanan. Akan ku nikmati setiap geliat rindunya malam hari ini.
Tangannya begitu mahir dan cekatan. Menjelajahi setiap sudut tubuhku dengan lihai. Dia begitu pandai. Seperti sedang menekan tuts pada piano, dia tidak hanya menghasilkan nada yang merdu. Namun lenguhan panjang yang terdengar begitu syahdu. Membakar suasana yang semakin menderu. Bergejolak tanpa batas. Aku bahkan sudah lupa bagaimana kemudian kami sudah saling merengkuh rindu ini dengan saling berpeluh keringat. Seperti sedang sama berlari menuju puncak yang kami pijaki beriringan. Kadang kami saling tertawa. Saling tersenyum. Namun lebih sering kami sibuk saling menikmati kerinduan ini dengan ekpresi wajah yang tak lagi dapat kami kuasai sendiri. Yang katanya ‘rindu’ ini, sudah berhasil merajai kami.
Tanpa sehelai benang, kami mulai merajut bagian demi bagian simpul menjadi utuh. Apakah rindu ini begitu menyakitkan sampai membuatnya mengerang? Apakah rindu ini melelahkan sampai membuat kami berkeringat dan bernafas dengan ngos-ngosan? Rindu ini terasa begitu membingungkan sampai membuat kami hanya bisa melenguh dengan panjang tanpa saling melawan. Kami hanya saling pasrah dan membiarkan. Tunduk pada seuntai rindu.

***

“Kamu mau langsung pulang?” tanyanya pagi itu. Dia mengerjapkan matanya. Terlihat jauh lebih berantakan dari malam saat aku menemuinya. Sebegitu beratnya kah rindu sampai membuatnya tak sanggup untuk beranjak dari tempat tidurnya kini. “Kamu nggak mau stay sebentar lagi aja? Aku masih kangen kamu.” Wajahnya memelas.
“Nggak bisa. Bukannya hari ini jadwal Alisa pulang?”
Dia terdiam. Mengucek-ngucek matanya.
“Ya, tapi kan nanti malam Alisa baru pulangnya.”
“Kamu nggak takut kita ketahuan?”
“Kita nggak bakalan ketahuan kok. Jangan pulang dulu ya. Aku masih kangen banget sama kamu.”
Aku menghela nafas. Memilih tetap berlalu. Entah kenapa rindu ini mulai terasa sedikit memuakkan. Aku berjalan menuju ambang pintu. Sorot matanya menatap setiap jengkal langkah kaki ku. Aku berhenti sejenak. Menoleh. Memperhatikan gurat wajahnya yang kelu.  “Aku kangen. Tapi nggak samu kamu.” Aku menutup pintu.

***

Ting!
“Iya, aku di rumah kok hari ini. Ada apa?”
Aku tersenyum membaca sebuah pesan yang baru saja ku terima. Sebelum akhirnya... “Aku mau mampir. Kangen.”

***


Tuesday, November 17, 2015

HUJAN

Berderai. Bergemericik. Membuncah. Hujan masih sama. Bergemuruh, merangsek, saling berlomba menghujam kerasnya aspal jalanan. Menimbulkan bau tanah yang menyeruak. Hujan selalu sama. Meninggalkan banyak genangan. Air atau kenangan. Becek jalanan atau tangisan. Hujan sudah pasti sama.