Hari ini merupakan hari kebahagiaan
kami berdua. Kalian lihat pria yang tengah mengobrol dengan teman-temannya di
ujung sana? Bukankah dia tampak begitu tampan dengan stelan jas hitamnya?
Sungguh menambah kesan maskulin pada tubuhnya yang tegap berisi. Aku yakin
sekali, siapa pun yang melihatnya pasti akan iri. Bagaimana mungkin pria
setampan itu akhirnya memutuskan untuk menikah dan mengakhiri masa lajangnya
secepat ini? Padahal dia bisa saja mencari seseorang yang bahkan lebih tepat,
lebih sesuai, dan lebih baik lagi. Atau dia bahkan masih bisa meneruskan
beasiswa gelar masternya ke luar negeri. Atau kenapa pria itu tak meneruskan bisnis
ayahnya saja dan malah memilih terikat di sini meninggalkan semuanya? Demi hari
ini. Cinta memang benar-benar buta. Mungkin itu yang sudah dan akan mereka
pikirkan. Lagipula, siapa yang tak akan patah hati saat ini? Perhatikan.
Senyumnya terus mengembang lebar sedari tadi. Sorot matanya yang tajam terlihat
sangat teduh. Seteduh angin sore dari pepohonan rindang pada senja. Oh lihatlah,
dia bahkan masih saja sibuk bercerita tentang apa yang sudah kami alami berdua
sebelum akhirnya sampai tepat di hari ini. Dasar. Apa semua orang benar-benar
perlu tahu tentang cerita kami?
Sejujurnya, aku bahkan tak mau
lagi mengingatnya. Mengingat apa yang sudah kami lalui. Cerita cinta kami, tak
seindah yang selalu diceritakan dalam sebuah film atau buku fiksi yang
mengumbar rasa bahagia semata. Perjalanan kami, penuh liku. Dan sebut saja dilengkapi
dengan nestapa. Kalau katanya cinta membuat orang bahagia, namun mengapa hanya
kami yang mampu merasakannya? Sementara yang lain menjadi kalang kabut seperti
terbakar oleh api neraka?
Bagaimana awal kami bertemu?
Sungguh kalian ingin tahu? Semuanya diawali karena pertemuan tak sengaja dua
tahun yang lalu. Di sebuah kedai kopi kecil dengan lampu temaram keemasan. Dia duduk
sendiri di bagian pojok favoritnya. Yang berbeda, dia tak lagi ditemani seorang
wanita yang biasa membuatnya tertawa. Kali itu, dia hanya sendiri dengan gurat
kaku dan sorot mata yang sepi. Lalu entah bagaimana aku mempunyai keberanian
untuk menghampirinya. Sekedar untuk menemaninya, yang kemudian tak sengaja
malah larut dan tenggelam dalam pembicaraan yang menautkan hati ke hati.
Berbicara tentang dirinya yang ternyata ditinggalkan begitu saja dan
dikhianati. Dan tentang kisah ku yang bertepuk sebelah tangan pada sang pujaan
hati. Bukankah itu lucu? Ketidaksengajaan itu seperti menawarkan sesuatu pada
kami. Ketidaksengajaan itu membawa sebuah pesan, bahwa ternyata kami tidak
hanya sendiri. Lalu ketidaksengajaan itu membuat kami tertawa terpingkal hingga
menjadi sering bertemu di kemudian hari. Tapi, apa benar semua tak sengaja?
Bukankah semua yang terjadi di dunia ini telah digariskan oleh Tuhan? Yang ku
tahu, ketidaksengajaan itu sudah membawa kami akhirnya sampai di sini. Di
tengah keramaian kerabat yang tak ku sangka masih ada yang mau ikut berbahagia
dengan kisah percintaan kami. Mungkinkah mereka orang-orang yang betul paham
apa itu makna cinta? Atau mereka hanya datang atas dasar perasaan tidak tega?
Kenapa juga aku harus memedulikannya. Bahkan seharusnya aku bersyukur karena
masih ada mereka di sini. Di saat yang lain hanya bisa memberondong kami dengan
maki dan caci. Di saat mereka bersusah payah memberikan penjelasan apa itu makna
cinta yang hakiki demi untuk merobek apa yang telah kami rajut selama ini? Tapi
sekali lagi, untuk apa aku peduli. Lihatlah, pria dengan rahang sekeras batu
itu tetap memilihku tanpa peduli pada begitu banyak hal yang dipertaruhkannya
yang mungkin tak akan pernah kembali lagi. Bukankah aku begitu beruntung dan
lebih banyak harus bersyukur atas semua ini? Atas semua ketidaksengajaan yang
pernah terjadi dan datang pada kami.
Dan sekali lagi, lihatlah kami yang
sudah berada di sini. Apakah ini berarti kami sudah memenangkan percintaan yang
kami perjuangkan? Atau sebenarnya kami telah kalah oleh cinta itu sendiri
karena tetap memilih melangkah dan meninggalkan kebahagiaan yang mereka
janjikan? Menang atau kalah, asal bersamanya aku tidak lagi peduli. Sudah
sampai sejauh ini untuk sekedar menyesal. Kami sudah tiba di tengah hari
berbahagia kami. Hanya kami berdua. Yang sudah berjanji sehidup semati. Mengarungi
bahtera rumah tangga beralaskan cinta yang sejati. Cinta yang sepenuh hati.
Cinta yang akan kami bawa sampai mati.
Oh, hahaha, lihatlah pria itu mulai sadar tengah ku perhatikan sejak tadi. Mata ku memang tak pernah dapat berhenti menjatuhkan pandang padanya sejak kali pertama bertemu. Lihatlah, dia tersenyum padaku. Dan jantung ku masih saja berdegup kencang tiap melihat senyumannya. Sekarang dia mulai berjalan menghampiri ku dengan senyuman yang tak pernah pudar sejak pagi tadi. Dia semakin mendekat. Dan dekat. Kami berhadapan kini.
“Kamu bahagia?”
Oh, mengapa dia menanyakan hal
yang sudah pasti dia tahu jawabannya. Yang tidak lagi mampu untuk ku jawab
dengan sekedar kata kecuali dengan hanya senyum yang mengembang. Dan mata ku
yang mulai berkaca-kaca. Dia menggenggam jemariku. Hangat. Tangannya selalu
terasa hangat. Dia menciumnya dengan lembut. Sambil menatapku kembali.
“Kamu bahagia?”
Dia menanyakannya sekali lagi.
Dan kembali, aku hanya bisa terdiam dengan semu merah di pipi. Kami hanya
saling berpandangan. Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening. Waktu seakan
sengaja berhenti untuk memberi kesempatan pada kami.
“Kamu manis sekali hari ini,” katanya
sambil merapikan kerah kemeja putih yang ku kenakan di dalam jas yang juga
berwarna hitam senada dengan jas yang ia kenakan. Lalu kemudian, aku hanya
mendengar riuh tepuk tangan, sorak sorai, saat bibir kami mulai saling bersentuhan.
***
No comments:
Post a Comment