Thursday, November 19, 2015

KANGEN

Ting!
“Kamu di mana?”
“Kantor.”

Ting!
“Selesai jam berapa?”
“Jam 5 kayaknya. Kenapa?”

Ting!
“Aku kangen.”
“Kangen?”

Ting!
“Mampir ke tempatku ya?”
...............

Ting!
“Gak bisa ya? :(“
“Sbntr. Msh ada kerjaan.”

Ting!
“Ayo dong... Km gak kangen?”
...............

Ting!
“Sibuk bgt?”
................

Ting!
“Halo... km di sana?”
.............

Ting!
“Halo?”
“Iya. Nanti aku ke sana.”

Ting!
“Asik! Aku tunggu.”
.............

***

Ting tong!
Aku menekan bel. Semenit, seorang lelaki dengan rambut berantakan menyambutku. Kaos putihnya tipis, menunjukkan bidang dadanya. Celana boxer-nya yang super pendek jelas menunjukkan kencang kakinya yang berbulu. Ia kemudian tersenyum. Entah senyuman bahagia, senang, atau puas karena keinginannya kembali akan terpenuhi. Malam ini.
“Kamu sendirian?” tanyaku. Sekedar berbasa-basi.
“Iya, nih. Kamu ke mana aja sih? Sibuk banget kerja ya, sampe nggak pernah ngabarin? Aku kangen.”
“Ya ... kayak yang kamu liat. Terus, kamu nggak mau nyuruh aku masuk?”
“Oh iya,” dia menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Masuk yuk.”
Dia membuka pintunya lebar. Selebar senyumannya mempersilakan aku masuk ke dalam apartemennya yang terlihat berantakan. Khas lelaki.
“Jadi, ke mana perginya...” aku memilih untuk tidak melanjutkan kalimatku. Dia mengajakku untuk datang ke sini sudah pasti...
“Oh. Biasa. Singapur. Liburan, katanya. Udah hampir seminggu nih aku sendirian. Untung malem ini ada kamu.” Jawabnya seperti sudah tahu ke mana arah pertanyaanku.
“Pantes berantakan begini.”
“Makanya, kamu rapiin dong,” ucapnya sembari mendekat dan memelukku dari belakang. Aku langsung dapat dengan jelas merasakan hangat hembusan nafasnya berpapasan dengan kulitku. Dia mencium pundakku. “Aku kangen banget sama kamu.” Katanya lagi. Nafasnya terasa sedikit memburu.
Merindukanku? Sungguhkah?
Dia mencumbui pundakku lagi. Memelukku semakin erat. Tangannya keras melingkar di pinggangku. Tubuhnya terasa hangat. Nafasnya kini mulai beringas.
“Kamu gak kangen aku ya?”
Aku? Merindukannya?
Aku menjatuhkan tas ku asal ke atas lantai. Kemudian berputar membalikkan tubuhku tiba-tiba. Membuatnya sedikit terkejut namun senang. Aku menatap matanya lekat. Memperhatikan rahangnya yang kokoh. Rindu? Apa aku merindukannya? Aku tidak tahu. Tapi pekerjaan kantor yang rasanya mencekik leherku membuatku ingin menemuinya begitu saja malam ini. Menemuinya kembali setelah kami berdua saling menghilang tak memberi kabar. Tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Dia tersenyum menatapku. Tak perlu menebak apa yang kemudian terjadi selanjutnya.
Tak perlu menunggu lama untuk kami kemudian saling bersentuhan bibir. Saling memagut tak berhenti. Tanpa irama pasti. Lembut berbaur dengan kasar. Cepat bercampur dengan lambat. Meliuk. Menari. Melepas sesuatu yang dia bilang adalah ‘rindu’. Benarkah rindu? Lidahnya menjulur dengan bebas. Menjalar dengan liar. Membuat bilah bibirku basah dan memudarkan gincu merah yang ku pakai. Inikah yang disebut ‘rindu’? Persetan! Aku membiarkan dia membalaskan dendam rindunya yang memburu padaku. Tanpa perlawanan. Akan ku nikmati setiap geliat rindunya malam hari ini.
Tangannya begitu mahir dan cekatan. Menjelajahi setiap sudut tubuhku dengan lihai. Dia begitu pandai. Seperti sedang menekan tuts pada piano, dia tidak hanya menghasilkan nada yang merdu. Namun lenguhan panjang yang terdengar begitu syahdu. Membakar suasana yang semakin menderu. Bergejolak tanpa batas. Aku bahkan sudah lupa bagaimana kemudian kami sudah saling merengkuh rindu ini dengan saling berpeluh keringat. Seperti sedang sama berlari menuju puncak yang kami pijaki beriringan. Kadang kami saling tertawa. Saling tersenyum. Namun lebih sering kami sibuk saling menikmati kerinduan ini dengan ekpresi wajah yang tak lagi dapat kami kuasai sendiri. Yang katanya ‘rindu’ ini, sudah berhasil merajai kami.
Tanpa sehelai benang, kami mulai merajut bagian demi bagian simpul menjadi utuh. Apakah rindu ini begitu menyakitkan sampai membuatnya mengerang? Apakah rindu ini melelahkan sampai membuat kami berkeringat dan bernafas dengan ngos-ngosan? Rindu ini terasa begitu membingungkan sampai membuat kami hanya bisa melenguh dengan panjang tanpa saling melawan. Kami hanya saling pasrah dan membiarkan. Tunduk pada seuntai rindu.

***

“Kamu mau langsung pulang?” tanyanya pagi itu. Dia mengerjapkan matanya. Terlihat jauh lebih berantakan dari malam saat aku menemuinya. Sebegitu beratnya kah rindu sampai membuatnya tak sanggup untuk beranjak dari tempat tidurnya kini. “Kamu nggak mau stay sebentar lagi aja? Aku masih kangen kamu.” Wajahnya memelas.
“Nggak bisa. Bukannya hari ini jadwal Alisa pulang?”
Dia terdiam. Mengucek-ngucek matanya.
“Ya, tapi kan nanti malam Alisa baru pulangnya.”
“Kamu nggak takut kita ketahuan?”
“Kita nggak bakalan ketahuan kok. Jangan pulang dulu ya. Aku masih kangen banget sama kamu.”
Aku menghela nafas. Memilih tetap berlalu. Entah kenapa rindu ini mulai terasa sedikit memuakkan. Aku berjalan menuju ambang pintu. Sorot matanya menatap setiap jengkal langkah kaki ku. Aku berhenti sejenak. Menoleh. Memperhatikan gurat wajahnya yang kelu.  “Aku kangen. Tapi nggak samu kamu.” Aku menutup pintu.

***

Ting!
“Iya, aku di rumah kok hari ini. Ada apa?”
Aku tersenyum membaca sebuah pesan yang baru saja ku terima. Sebelum akhirnya... “Aku mau mampir. Kangen.”

***


No comments:

Post a Comment