Aku menuliskan kisah ini, pada hari ini. Di akhir bulan februari.
Langit masih kelabu. Angin masih bertiup dingin. Dan hujan masih turun, gerimis membasahi rata jalanan. Yang berbeda, hanya bau tanah yang sudah tak lagi menyengat bak seonggok mayat seperti pertama kali ia turun menyapa bumi dan menghanguskan debu di atas aspal.
Aku menuliskan ini, di kamar ini.
Dengan lampu padam hanya ditemani cahaya dari tv yang tidak bersuara, karena sengaja ku kecilkan volumenya tadi.
Aku sedang ingin hening dan sepi.
Hari ini. Tepat di akhir bulan februari.
Dan andai saja kamu tahu, aku menuliskan ini, di tengah pilu dan sembilu yang mereka kumandangkan sebagai rindu.
Mungkinkah?
Ini, aku tuliskan sebuah puisi semampunya untukmu. Di atas secarik kertas berwarna putih dengan tinta hitam yang hampir habis.
Kububuhkan juga tanda tanganku.
Hanya sekedar agar kamu tahu, aku memang menuliskannya untukmu.
"Aku rindu,
Pada tatapan sinis dan tawa angkuhmu.
Pada segaris liukan senyum bodoh itu.
Atau mungkin, rinduku berlabuh pada sirat rayuan birahimu.
Entahlah.
Denganmu, aku dapat melepaskan bulu domba ini.
Menjadi seekor serigala seutuhnya.
Melolong di tengah malam dengan bahagia.
Rasanya tidak peduli.
Pada tatapan sekitar yang penuh benci.
Nanar dan gusar.
Pada sumpah serapah yang kasar."
Friday, February 28, 2014
Saturday, January 18, 2014
BUNGA
Begitu mereka menyebutku.
Tidak.
Bukan karena aku memiliki keindahan seperti mawar yang berwarna merah. Bukan juga karena aku harum seperti melati. Dan aku bahkan tidak anggun selayaknya anggrek bulan.
Mereka menyebutku bunga.
Meskipun aku tidak memiliki kelopak yang cantik dan tangkai kecil yang jenjang.
Bahkan mahkota di kepalaku terlihat kasar. Aku juga tumbuh di tempat yang kotor. Bukan tumbuh di rerumputan hijau yang segar.
Mereka menamaiku bunga.
Mungkin karena aku membiarkan tubuhku disentuh bebas oleh sekawanan lebah jantan atau bahkan kupu-kupu betina.
Mereka selalu datang menghampiriku. Tidak pernah sekalipun merasa bosan.
Hinggap dan menghisap maduku.
Rasanya geli.
Geli sekali saat mereka mulai bertengger meletakkan jemari kecil mereka. Seperti diraba.
Saat mereka mulai memainkan lidahnya di dalam tubuhku hingga aku mengejan, melenguh, dan mengeluarkan cairan manis yang mereka cari.
Mereka menghisapnya sampai habis. Tidak tersisa.
Mereka menggilai nektar yang ada di dalam tubuhku. Dan mereka tidak pernah kehabisan cara untuk mendapatkannya.
Mereka sangat rakus.
Memaksaku melakukannya. Mengeluarkannya terus-menerus sampai aku lemas dan merasa hampir layu.
Terkadang, aku mendengar mereka berdengung.
Terkadang, mereka berdengung ketika mereka sedang berusaha mengeluarkan cairan manis dari dalam tubuhku.
Dengung yang lantang. Dengung yang keras. Dengung yang kasar. Dengung yang lembut. Dengung yang sepi. Dengung yang hening. Dengung yang hampa. Dengung dengung dengung, dengung yang banyak sekali.
Si lebah jantan sering berdengung. Dengungannya terdengar seperti makian.
Untuk si ratu lebah yang hanya bisa memerintahnya agar bekerja siang dan malam. Si ratu lebah yang tidak mengerti bahwa si lebah jantan terkadang merasa bosan dan begitu kesepian.
Lalu ia berdengung kelelahan. Dengung yang terdengar seperti sumpah-serapah akan kehidupan.
Si kupu-kupu betina juga banyak berdengung. Dengung yang lembut namun penuh kebencian. Mereka benci melihat kawanannya sendiri. Mereka benci melihat kupu-kupu jantan yang kini banyak mempunyai sayap yang lebih cantik daripada yang mereka miliki.
Dengungnya penuh dengki.
Tapi mereka semua mempunyai suara dengungan yang sama.
Dengung yang terdengar seperti lenguhan panjang saat aku memuncratkan banyak nektar memenuhi wajah mereka.
Dengung yang penuh dengan kenikmatan.
Aku hanya bisa diam.
Selalu diam saat mereka berdengung.
Kelopakku saja yang ikut bergetar karena dengungan mereka. Kelopakku saja yang menyentuh lembut tubuh mereka yang membuat mereka semakin betah berlama-lama berada di atas tubuhku.
***
Waktu berlalu. Mereka cepat-cepat pergi. Kembali ke sarang mereka.
Aku bergoyang.
Tertiup angin malam.
Membiarkan tubuhku dimandikan oleh guyuran hujan.
***
Sebut saja aku bunga.
Saat suaraku disamarkan, lampu dipadamkan, dan yang tersisa hanya seonggok bayangan.
Di depan sebuah lensa, cerita dimulai dan drama dimainkan.
Tidak.
Bukan karena aku memiliki keindahan seperti mawar yang berwarna merah. Bukan juga karena aku harum seperti melati. Dan aku bahkan tidak anggun selayaknya anggrek bulan.
Mereka menyebutku bunga.
Meskipun aku tidak memiliki kelopak yang cantik dan tangkai kecil yang jenjang.
Bahkan mahkota di kepalaku terlihat kasar. Aku juga tumbuh di tempat yang kotor. Bukan tumbuh di rerumputan hijau yang segar.
Mereka menamaiku bunga.
Mungkin karena aku membiarkan tubuhku disentuh bebas oleh sekawanan lebah jantan atau bahkan kupu-kupu betina.
Mereka selalu datang menghampiriku. Tidak pernah sekalipun merasa bosan.
Hinggap dan menghisap maduku.
Rasanya geli.
Geli sekali saat mereka mulai bertengger meletakkan jemari kecil mereka. Seperti diraba.
Saat mereka mulai memainkan lidahnya di dalam tubuhku hingga aku mengejan, melenguh, dan mengeluarkan cairan manis yang mereka cari.
Mereka menghisapnya sampai habis. Tidak tersisa.
Mereka menggilai nektar yang ada di dalam tubuhku. Dan mereka tidak pernah kehabisan cara untuk mendapatkannya.
Mereka sangat rakus.
Memaksaku melakukannya. Mengeluarkannya terus-menerus sampai aku lemas dan merasa hampir layu.
Terkadang, aku mendengar mereka berdengung.
Terkadang, mereka berdengung ketika mereka sedang berusaha mengeluarkan cairan manis dari dalam tubuhku.
Dengung yang lantang. Dengung yang keras. Dengung yang kasar. Dengung yang lembut. Dengung yang sepi. Dengung yang hening. Dengung yang hampa. Dengung dengung dengung, dengung yang banyak sekali.
Si lebah jantan sering berdengung. Dengungannya terdengar seperti makian.
Untuk si ratu lebah yang hanya bisa memerintahnya agar bekerja siang dan malam. Si ratu lebah yang tidak mengerti bahwa si lebah jantan terkadang merasa bosan dan begitu kesepian.
Lalu ia berdengung kelelahan. Dengung yang terdengar seperti sumpah-serapah akan kehidupan.
Si kupu-kupu betina juga banyak berdengung. Dengung yang lembut namun penuh kebencian. Mereka benci melihat kawanannya sendiri. Mereka benci melihat kupu-kupu jantan yang kini banyak mempunyai sayap yang lebih cantik daripada yang mereka miliki.
Dengungnya penuh dengki.
Tapi mereka semua mempunyai suara dengungan yang sama.
Dengung yang terdengar seperti lenguhan panjang saat aku memuncratkan banyak nektar memenuhi wajah mereka.
Dengung yang penuh dengan kenikmatan.
Aku hanya bisa diam.
Selalu diam saat mereka berdengung.
Kelopakku saja yang ikut bergetar karena dengungan mereka. Kelopakku saja yang menyentuh lembut tubuh mereka yang membuat mereka semakin betah berlama-lama berada di atas tubuhku.
***
Waktu berlalu. Mereka cepat-cepat pergi. Kembali ke sarang mereka.
Aku bergoyang.
Tertiup angin malam.
Membiarkan tubuhku dimandikan oleh guyuran hujan.
***
Sebut saja aku bunga.
Saat suaraku disamarkan, lampu dipadamkan, dan yang tersisa hanya seonggok bayangan.
Di depan sebuah lensa, cerita dimulai dan drama dimainkan.
Tuesday, January 14, 2014
Dear, Kamu.
Tadi pagi, aku terbangun dengan senyum yang tersungging menyembul di antara kedua pipiku.
Semalam aku bermimpi.
Aku memimpikan kamu.
Aku sedang mengendarai motor.
Mengenakan helm dan sengaja membuka kacanya membiarkan wajahku diterpa oleh angin sore yang lembut.
Kamu duduk persis di belakangku.
Aku masih dapat merasakan pelukan tanganmu pada pinggangku.
Aku dapat merasakan sentuhan kedua kakimu dan hangatnya tubuhmu.
Lalu kamu berbisik. Bercanda. Membuatku tertawa.
Kamu berbisik lagi.
Kali ini kamu membuka helm ku karena aku tak dapat mendengar dengan jelas suaramu.
Kamu menempelkan kedua bibirmu di telinga kiriku.
Aku rasa kamu tidak sedang benar-benar berbisik kali ini.
Kamu sengaja.
Membuatnya geli dan membuatku tertawa.
Tawaku pecah.
Rasanya hangat.
Nafasmu di telinga kiriku terasa hangat. Sekaligus geli.
Kita bercanda.
Lalu kamu mencium leherku dari belakang.
Kali ini terasa jauh lebih geli dan hangat. Disertai basah.
Aku tertawa.
Kamu tertawa.
Kita tertawa.
Semalam aku bermimpi.
Aku memimpikan kamu.
Aku sedang mengendarai motor.
Mengenakan helm dan sengaja membuka kacanya membiarkan wajahku diterpa oleh angin sore yang lembut.
Kamu duduk persis di belakangku.
Aku masih dapat merasakan pelukan tanganmu pada pinggangku.
Aku dapat merasakan sentuhan kedua kakimu dan hangatnya tubuhmu.
Lalu kamu berbisik. Bercanda. Membuatku tertawa.
Kamu berbisik lagi.
Kali ini kamu membuka helm ku karena aku tak dapat mendengar dengan jelas suaramu.
Kamu menempelkan kedua bibirmu di telinga kiriku.
Aku rasa kamu tidak sedang benar-benar berbisik kali ini.
Kamu sengaja.
Membuatnya geli dan membuatku tertawa.
Tawaku pecah.
Rasanya hangat.
Nafasmu di telinga kiriku terasa hangat. Sekaligus geli.
Kita bercanda.
Lalu kamu mencium leherku dari belakang.
Kali ini terasa jauh lebih geli dan hangat. Disertai basah.
Aku tertawa.
Kamu tertawa.
Kita tertawa.
Thursday, January 2, 2014
Romansa.
Maessa sengaja datang lebih awal kali ini. Di meja ini, ia sudah memiliki janji untuk bertemu dengan seseorang. Seseorang yang belakangan ini membuatnya tersenyum. Seseorang yang mampu menghilangkan pilunya tiga bulan lalu. Seorang pelayan yang kala itu melihatnya menangis dan menemaninya begitu saja. Tidak banyak bertanya dan hanya mendengarkan apa yang Maessa ceritakan. Bahkan wajahnya tidak sekalipun memberikan ekspresi bosan. Seorang pelayan yang kala itu memberikannya secangkir teh hangat beraroma segar. Membuat kesedihannya sedikit terobati.
Ia bahkan sudah tak lagi mengingat mantan kekasih yang sudah menyakitinya. Mantan kekasih yang ia pergoki sedang bersetubuh dengan ibunya. Dasar gigolo!
Suasana di dalam kafe ini tampak lengang dan sepi. Mungkin karena di luar sedang turun hujan yang lumayan deras. Maessa dapat melihat betapa beceknya jalanan di luar sana dari jendela besar yang ada di sebelahnya.
Sambil menunggu, ia memoleskan gincu pada kedua bibirnya. Membuatnya menjadi berwarna merah dan terang. Maessa terlihat cantik dan menggairahkan. Begitulah seharusnya. Itu yang dikatakan pelayan kafe ini padanya. Tampil berani dan menawan.
Maessa tak peduli lagi dengan anggapan teman-temannya yang mengatakan ia berkencan dengan seorang pelayan. Peduli setan! Mereka bahkan tak ada dan malah keluyuran saat Maessa butuh ada yang mendengarkan.
Setengah jam lagi.
Seorang pelayan yang ia tunggu masih sibuk dengan urusannya di dalam.
Hati Maessa tak karuan. Kenapa jantungnya jadi berdetak kencang. Bodoh. Padahal ini bukan pertemuan pertamanya.
Tapi memikirkan bahwa ada yang ingin dikatakan oleh si pelayan, membuatnya semakin belingsatan.
Tepat jam delapan!
Pelayan itu akhirnya keluar dari dalam. Masih menggunakan seragam.
"Djenar."
Maessa membaca tanda pengenal yang ada di seragam pelayan itu, pelan.
"Udah lama nunggu ya?" tanya pelayan itu. Yang tak lain bernama Djenar. Yang membuat hatinya semakin tak keruan. Manis. Senyumnya manis. Manis dan hangat. Seperti cokelat panas yang ia pesan. Pipinya menyembulkan garis berwarna merah muda. Merah muda yang alami. Bukan merah muda seperti yang tertera pada pipi Maessa.
Maessa menggeleng. Membalas senyumannya.
Semenit kemudian, mereka sudah larut terbawa oleh suasana dan obrolan. Orang sekitar, tak mereka pedulikan.
***
Djenar menggenggam tangan Maessa.
Tiba-tiba.
Maessa hanya pasrah dan diam saja. Yang ia tahu, jantungnya semakin berdetak kencang. Mungkinkah?
"Aku sayang sama kamu," suara Djenar terdengar lembut.
Maessa hanya diam sebelum akhirnya mengatakan hal yang serupa.
"Aku juga," Maessa tertunduk malu.
Djenar melepaskan genggamannya. Kemudian meletakkan lembut kedua telapak tangannya pada wajah Maessa. Mengangkat kepalanya hingga mereka berdua bertatapan. Hangat. Tatapan matanya sangat hangat dan teduh. Maessa dapat merasakannya.
Djenar mendekatkan wajahnya. Kini Maessa dapat merasakan aroma lembut nafas Djenar menyentuh hidungnya. Jantungnya berdegup lagi. Kemudian berhenti saat bibir mereka mulai saling memagut. Rasanya lembut. Tidak seperti bibir kebanyakan lelaki. Halus. Menimbulkan sebuah sensasi tersendiri.
Mereka saling memagut. Bibir mereka masih terpaut.
Mereka seakan tak mau melepaskannya meskipun suasana sekitar mulai ribut. Tak peduli.
***
Semua mata melihat ke arah dua manusia yang sedang menampilkan adegan mesra di pojok sana. Orang-orang berbisik. Memaki. Terlihat gusar dan geli.
Tapi kedua gadis itu nampak tak peduli. Mereka masih berciuman. Menunjukkan kalau mereka tak akan dapat dipisahkan.
Djenar & Maessa.
Ia bahkan sudah tak lagi mengingat mantan kekasih yang sudah menyakitinya. Mantan kekasih yang ia pergoki sedang bersetubuh dengan ibunya. Dasar gigolo!
Suasana di dalam kafe ini tampak lengang dan sepi. Mungkin karena di luar sedang turun hujan yang lumayan deras. Maessa dapat melihat betapa beceknya jalanan di luar sana dari jendela besar yang ada di sebelahnya.
Sambil menunggu, ia memoleskan gincu pada kedua bibirnya. Membuatnya menjadi berwarna merah dan terang. Maessa terlihat cantik dan menggairahkan. Begitulah seharusnya. Itu yang dikatakan pelayan kafe ini padanya. Tampil berani dan menawan.
Maessa tak peduli lagi dengan anggapan teman-temannya yang mengatakan ia berkencan dengan seorang pelayan. Peduli setan! Mereka bahkan tak ada dan malah keluyuran saat Maessa butuh ada yang mendengarkan.
Setengah jam lagi.
Seorang pelayan yang ia tunggu masih sibuk dengan urusannya di dalam.
Hati Maessa tak karuan. Kenapa jantungnya jadi berdetak kencang. Bodoh. Padahal ini bukan pertemuan pertamanya.
Tapi memikirkan bahwa ada yang ingin dikatakan oleh si pelayan, membuatnya semakin belingsatan.
Tepat jam delapan!
Pelayan itu akhirnya keluar dari dalam. Masih menggunakan seragam.
"Djenar."
Maessa membaca tanda pengenal yang ada di seragam pelayan itu, pelan.
"Udah lama nunggu ya?" tanya pelayan itu. Yang tak lain bernama Djenar. Yang membuat hatinya semakin tak keruan. Manis. Senyumnya manis. Manis dan hangat. Seperti cokelat panas yang ia pesan. Pipinya menyembulkan garis berwarna merah muda. Merah muda yang alami. Bukan merah muda seperti yang tertera pada pipi Maessa.
Maessa menggeleng. Membalas senyumannya.
Semenit kemudian, mereka sudah larut terbawa oleh suasana dan obrolan. Orang sekitar, tak mereka pedulikan.
***
Djenar menggenggam tangan Maessa.
Tiba-tiba.
Maessa hanya pasrah dan diam saja. Yang ia tahu, jantungnya semakin berdetak kencang. Mungkinkah?
"Aku sayang sama kamu," suara Djenar terdengar lembut.
Maessa hanya diam sebelum akhirnya mengatakan hal yang serupa.
"Aku juga," Maessa tertunduk malu.
Djenar melepaskan genggamannya. Kemudian meletakkan lembut kedua telapak tangannya pada wajah Maessa. Mengangkat kepalanya hingga mereka berdua bertatapan. Hangat. Tatapan matanya sangat hangat dan teduh. Maessa dapat merasakannya.
Djenar mendekatkan wajahnya. Kini Maessa dapat merasakan aroma lembut nafas Djenar menyentuh hidungnya. Jantungnya berdegup lagi. Kemudian berhenti saat bibir mereka mulai saling memagut. Rasanya lembut. Tidak seperti bibir kebanyakan lelaki. Halus. Menimbulkan sebuah sensasi tersendiri.
Mereka saling memagut. Bibir mereka masih terpaut.
Mereka seakan tak mau melepaskannya meskipun suasana sekitar mulai ribut. Tak peduli.
***
Semua mata melihat ke arah dua manusia yang sedang menampilkan adegan mesra di pojok sana. Orang-orang berbisik. Memaki. Terlihat gusar dan geli.
Tapi kedua gadis itu nampak tak peduli. Mereka masih berciuman. Menunjukkan kalau mereka tak akan dapat dipisahkan.
Djenar & Maessa.
MELUAP
ANJING!
BANGSAT!
BIADAB!
MONYET!
BRENGSEK!
NGGAK BISA LO PERGI AJA?
HATI GUE SAKIT, BANGSAT! BRENGSEK!
Lo emang cuma senyum. Lo cuma ketawa. Lo cuma bercanda. Bahkan lo cuma diem. Tapi lo buat gue jadi gila!
NGGAK USAH LO SENYUM-SENYUM!
SENYUM LO NGEBUAT GUE JADI GILA!
SEMUA YANG LO LAKUIN, SEMUANYA BUAT GUE JADI GILA!
HAHAHAHA....
MONYET!
Gue nggak lagi ketawa. Gue nggak tau. Mata gue cuma berair!
GUE UDAH GILA!
Makian?
Nggak! Ini bukan makian! HAHAHA..
Ini pengalihan.
Dari omongan bullshit mereka yang bilang kalo ini namanya, CINTA.
GUE NGGAK CINTA!
Apalagi sama lo. Iya, sama lo! Kalo ini emang cinta, kenapa rasanya kayak hati gue nggak berhenti digergaji?
SAKIT, BRENGSEK!
Gue cuma nggak bisa ngendaliin entah apa ini.
Harusnya ini cuma sekedar berahi. Harusnya ini cuma sebatas memuaskan daerah selangkangan. Tapi ini malah beda. Ini pake HATI!
IYA, PAKE HATI, MONYET!
LO CUMA BIKIN GUE GAK KARUAN...!!!
RGH!
Pria itu menutup laptopnya. Menghela napasnya panjang. Memandang kosong sambil mengesap segelas kopi hitam. Masih tidak sepahit perasaannya.
BANGSAT!
BIADAB!
MONYET!
BRENGSEK!
NGGAK BISA LO PERGI AJA?
HATI GUE SAKIT, BANGSAT! BRENGSEK!
Lo emang cuma senyum. Lo cuma ketawa. Lo cuma bercanda. Bahkan lo cuma diem. Tapi lo buat gue jadi gila!
NGGAK USAH LO SENYUM-SENYUM!
SENYUM LO NGEBUAT GUE JADI GILA!
SEMUA YANG LO LAKUIN, SEMUANYA BUAT GUE JADI GILA!
HAHAHAHA....
MONYET!
Gue nggak lagi ketawa. Gue nggak tau. Mata gue cuma berair!
GUE UDAH GILA!
Makian?
Nggak! Ini bukan makian! HAHAHA..
Ini pengalihan.
Dari omongan bullshit mereka yang bilang kalo ini namanya, CINTA.
GUE NGGAK CINTA!
Apalagi sama lo. Iya, sama lo! Kalo ini emang cinta, kenapa rasanya kayak hati gue nggak berhenti digergaji?
SAKIT, BRENGSEK!
Gue cuma nggak bisa ngendaliin entah apa ini.
Harusnya ini cuma sekedar berahi. Harusnya ini cuma sebatas memuaskan daerah selangkangan. Tapi ini malah beda. Ini pake HATI!
IYA, PAKE HATI, MONYET!
LO CUMA BIKIN GUE GAK KARUAN...!!!
RGH!
Pria itu menutup laptopnya. Menghela napasnya panjang. Memandang kosong sambil mengesap segelas kopi hitam. Masih tidak sepahit perasaannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)