Thursday, January 2, 2014

Romansa.

Maessa sengaja datang lebih awal kali ini. Di meja ini, ia sudah memiliki janji untuk bertemu dengan seseorang. Seseorang yang belakangan ini membuatnya tersenyum. Seseorang yang mampu menghilangkan pilunya tiga bulan lalu. Seorang pelayan yang kala itu melihatnya menangis dan menemaninya begitu saja. Tidak banyak bertanya dan hanya mendengarkan apa yang Maessa ceritakan. Bahkan wajahnya tidak sekalipun memberikan ekspresi bosan. Seorang pelayan yang kala itu memberikannya secangkir teh hangat beraroma segar. Membuat kesedihannya sedikit terobati.
Ia bahkan sudah tak lagi mengingat mantan kekasih yang sudah menyakitinya. Mantan kekasih yang ia pergoki sedang bersetubuh dengan ibunya. Dasar gigolo!

Suasana di dalam kafe ini tampak lengang dan sepi. Mungkin karena di luar sedang turun hujan yang lumayan deras. Maessa dapat melihat betapa beceknya jalanan di luar sana dari jendela besar yang ada di sebelahnya.
Sambil menunggu, ia memoleskan gincu pada kedua bibirnya. Membuatnya menjadi berwarna merah dan terang. Maessa terlihat cantik dan menggairahkan. Begitulah seharusnya. Itu yang dikatakan pelayan kafe ini padanya. Tampil berani dan menawan.

Maessa tak peduli lagi dengan anggapan teman-temannya yang mengatakan ia berkencan dengan seorang pelayan. Peduli setan! Mereka bahkan tak ada dan malah keluyuran saat Maessa butuh ada yang mendengarkan.

Setengah jam lagi.
Seorang pelayan yang ia tunggu masih sibuk dengan urusannya di dalam.
Hati Maessa tak karuan. Kenapa jantungnya jadi berdetak kencang. Bodoh. Padahal ini bukan pertemuan pertamanya.
Tapi memikirkan bahwa ada yang ingin dikatakan oleh si pelayan, membuatnya semakin belingsatan.

Tepat jam delapan!
Pelayan itu akhirnya keluar dari dalam. Masih menggunakan seragam.
"Djenar."
Maessa membaca tanda pengenal yang ada di seragam pelayan itu, pelan.

"Udah lama nunggu ya?" tanya pelayan itu. Yang tak lain bernama Djenar. Yang membuat hatinya semakin tak keruan. Manis. Senyumnya manis. Manis dan hangat. Seperti cokelat panas yang ia pesan. Pipinya menyembulkan garis berwarna merah muda. Merah muda yang alami. Bukan merah muda seperti yang tertera pada pipi Maessa.

Maessa menggeleng. Membalas senyumannya.
Semenit kemudian, mereka sudah larut terbawa oleh suasana dan obrolan. Orang sekitar, tak mereka pedulikan.

***

Djenar menggenggam tangan Maessa.
Tiba-tiba.
Maessa hanya pasrah dan diam saja. Yang ia tahu, jantungnya semakin berdetak kencang. Mungkinkah?

"Aku sayang sama kamu," suara Djenar terdengar lembut.

Maessa hanya diam sebelum akhirnya mengatakan hal yang serupa.

"Aku juga," Maessa tertunduk malu.

Djenar melepaskan genggamannya. Kemudian meletakkan lembut kedua telapak tangannya pada wajah Maessa. Mengangkat kepalanya hingga mereka berdua bertatapan. Hangat. Tatapan matanya sangat hangat dan teduh. Maessa dapat merasakannya.

Djenar mendekatkan wajahnya. Kini Maessa dapat merasakan aroma lembut nafas Djenar menyentuh hidungnya. Jantungnya berdegup lagi. Kemudian berhenti saat bibir mereka mulai saling memagut. Rasanya lembut. Tidak seperti bibir kebanyakan lelaki. Halus. Menimbulkan sebuah sensasi tersendiri.

Mereka saling memagut. Bibir mereka masih terpaut.
Mereka seakan tak mau melepaskannya meskipun suasana sekitar mulai ribut. Tak peduli.

***

Semua mata melihat ke arah dua manusia yang sedang menampilkan adegan mesra di pojok sana. Orang-orang berbisik. Memaki. Terlihat gusar dan geli.

Tapi kedua gadis itu nampak tak peduli. Mereka masih berciuman. Menunjukkan kalau mereka tak akan dapat dipisahkan.

Djenar & Maessa.






No comments:

Post a Comment